Sabtu, 13 Desember 2008

Perempuan dengan Kenangan dan Khayalan

Rindukanlah aku selalu.”

Kata-kata terakhir yang terucap dari dirimu saat aku melepas kepergianmu ke Jakarta. Kamu berkeras untuk bekerja di Jakarta meski ada beberapa universitas negeri dan swasta di Yogyakarta yang menawari pekerjaan sebagai staf pengajar. Menurut kamu, Jakarta lebih menjanjikan kehidupan yang layak. Ya, sudah kalau kamu sudah berkeinginan, tiada seorangpun dan tiada penghalang apapun yang bisa menentangnya. Tidak juga aku, pacarmu, kekasih hatimu, belahan jiwamu.

Menjelang kepergianmu, aku selalu meratap cemas. Gundah gulana, apakah kamu tidak akan tergoda dengan perempuan-perempuan Jakarta yang metropolis dan modern. Perempuan-perempuan cantik jelita dengan senyum menawan, tubuh seksi menggoda, harum wangi membuai jiwa. Perempuan yang tentunya memiliki segalanya dari aku, perempuan biasa-biasa saja.

Menjelang kepergianmu, makin banyak hal yang menggelayuti pikiranku. Aku takut kamu tenggelam dalam kesibukanmu. Terbenam bersama rutinitas yang pasti sangat membelenggu dirimu. Kalau sudah begitu, masihkah engkau akan selalu teringat dengan diriku, kekasihmu yang selalu setia menunggu.

Pikiran itu terus membebani pikiranku. Juga saat melepas kepergianmu di Stasiun Tugu. Pikiran itu tak bisa hilang meski seiring waktu terus berlalu. Pikiran itu masih saja mengganggu.

Tiba-tiba kamu merangkul mesra diriku. Mencumbu rayu dengan sejuta kata cinta. Mencoba menenangkan diriku yang tengah dilanda kegalauan yang teramat mendalam. Aku pun terbuai dengan sejuta rayuan gombalmu. Ah, aku hanya perempuan biasa yang senang dirayu sang kekasih hati, belahan jiwaku.

Tiba-tiba suara deru kereta api memecah kemesraan antara aku dan dirimu. Ah, bisakah keberangkatan dirimu ditunda, setidaknya untuk beberapa saat. Bisakah kepergianmu hanya angan belaka dalam benakku saja. Setidaknya aku ingin dicumbu rayu, dibelai buaian segala kata cinta yang mengharu biru. Aku masih ingin dipeluk mesra, masih ingin merasakan hangatnya kasihmu.
“Rindukanlah aku selalu.”

Kata-kata itu kembali terngiang di telingaku. Kamu pun beranjak, bergegas menaiki kereta. Tak lama berselang kereta mulai meninggalkan Stasiun Tugu, seiring dirimu meninggalkan aku kekasih hatimu.

Lambat laun kereta perlahan menghilang dari pandangan. Seiring itu pula aku seolah kehilangan harapan. Akankah kita akan bertemu dan bercinta lagi? Mudah-mudahan Tuhan Yang Maha Kuasa menjawab pintaku yang sederhana ini.

Seiring waktu berputar, sudah empat tahun berlalu. Sudah empat tahun kamu tidak menjumpai diriku. Sudah empat tahun, kamu tidak lagi membelai diriku. Sudah empat tahun, tak ada lagi sentuhan mesra dari dirimu. Yang ada hanyalah setumpuk surat cinta, sederet surat elektronik dan segelintir pesan singkat di telepon selulerku.

Aku masih menunggu. Masih menanti kedatanganmu. Tetapi lagi-lagi yang datang hanyalah surat cinta, sederet surat elektronik dan segelintir pesan singkat di telepon selulerku. Begitu seterusnya selama empat tahun ini.
“Rindukanlah diriku selalu.”

Kata-kata itu terngiang lagi di telingaku. Seolah baru kemarin aku mendengarkan dari bibirmu. Tetapi kali ini hanya berupa tulisan dalam surat-suratmu, hanya berupa larik kata-kata dalam pesan-pesan elektronik. Ah, kekasih hatiku, kapan sih aku tidak merindukan dirimu?
“Ingatlah kenangan masa lalu kita.”

Kamu berucap begitu dalam suratmu yang lain. Ah, aku masih mengingatnya. Kenangan indah kita berdua saat masih kuliah dulu. Berjalan bergandengan mesra menyusuri boulevard Universitas Gadjah Mada di tengah rintik gerimis pada suatu sore sepulang kuliah. Aku dan kamu tak peduli meski rintik gerimis makin deras membasahi tubuh. Aku dan kamu lupa membawa payung. Tak peduli juga kala segerombolan anak-anak sekolah menyoraki aku dan kamu yang makin mesra menikmati hujan. Tak peduli bila aku atau kamu terkena flu. Ah, apakah artinya penyakit kalau kita bisa selalu bersama.

Juga kenangan saat aku dan kamu menyantap makan siang sepiring berdua di sebuah warung di Jalan Kaliurang. Tak peduli dengan tatapan orang yang seakan mengejek. Ah, apa peduli aku dan kamu. Makan berdua, sepiring berdua, kata orang itu roman picisan. Ah, aku dan kamu tak akan peduli dengan semua itu.

Tak juga lekang tentang kenangan saat aku dan kamu bergandengan di Parang Tritis menyaksikan mentari terbenam. Menyaksikan indahnya senja keemasan yang menyelimuti lautan samudera luas. Mendengarkan suara deru ombak yang terus bergulung-gulung dengan indahnya. Menjadi saksi pergantian siang menjadi malam.

Aku juga masih ingat dengan puisi-puisi yang kamu berikan saat aku berulang tahun. Hadiah paling indah yang pernah aku dapatkan. Meski tanpa kue tart, tiup lilin, balon atau candle light dinner, aku tetap akan selalu mengenang hadiah terindah dari kamu sang belahan jiwaku.

Tapi kini kala aku berulang tahun, kamu tak lagi seromantis yang dulu. Kiriman berlabel FedEx atau DHL selalu menjejali diriku. Hadiah-hadiah mahalmu kadang membuat risih diriku. Sepatu Manolo Blahnik, dompet Prada, tas tangan Louis Vuitton, parfum Kenzo hingga jam Bvlgari memenuhi ruang kamar tidurku. Kekasihku, tidakkah kau menyadari kalau aku tidak butuh semua itu? Ruang hatiku masih mendambakan puisi-puisimu, masih menantikan buaian kata-kata manismu. Tubuhku masih merindukan belai lembut kasihmu, pelukan mesra dirimu. Ke mana semua itu kekasihku?
“Ini semua bentuk cintaku padamu.”

Begitu jawabmu saat aku mengeluh mengenai hadiah pemberianmu yang mahal-mahal itu. Ah, kekasihku tidakkah kau yang menyuruh aku untuk mengingat masa lalu indah kita berdua? Masa-masa indah penuh romantisme yang mungkin untuk orang lain sangat sentimentil, tetapi tidak buatku. Kekasihku, sudah lupakah kamu dengan janji-janjimu yang dulu. Janji-janji yang kaubisikkan di telinga hingga membuatku terbuai hingga langit ketujuh. Ah, sekiranya kamu masih ingat.

Surat-surat masih terus berdatangan tanpa pernah ada kehadiran dirimu. Selalu saja ada alasan darimu kala aku bertanya kapan kamu akan datang memberikan sebentuk cinta untukku. Selalu saja ada alasan yang mau tak mau mesti aku terima.
“Tunggulah aku, belahan jiwaku. Nantikan kedatanganku.”

Kata itu menjadi jawaban dari dirimu kala aku bertanya kapan kamu akan melamar diriku. Dulu kamu dan aku bermimpi tentang membina sebuah keluarga. Aku dan kamu mengkhayalkan sebuah keluarga bahagia dan sejahtera. Ada anak-anak yang memanggilmu ayah dan menyebutku bunda. Anak-anak yang berkejaran di halaman rumah, bercanda riang tawa dengan aku dan kamu. Anak-anak yang mungkin akan membuat aku dan kamu jengkel dengan semua tingkah lakunya yang nakal tetapi selalu akan membuat aku dan kamu rindu dengan mereka.

Tetapi kamu selalu bilang untuk mewujudkannya, kamu harus menempuh cita-citamu setinggi mungkin. Kamu ingin meraih apa yang kamu inginkan, rumah, mobil dan segala hal kebendaan lainnya. Kemudian baru kamu akan melamarku.

Kamu selalu bilang ingin membahagiakan diriku dengan sempurna. Kalau kamu bisa memberikan rumah mewah, mobil keluaran paling mutakhir, jam tangan mahal, sepatu impor Italia dan semacamnya maka kamu menganggap itu adalah kebahagiaan sejati bagimu.

Ah, kekasihku sudah lupakan dirimu dengan diriku yang tak pernah meminta dan mendamba semua itu. Aku tak membutuhkan semua kebendaan itu. Yang aku harapkan dan selalu kunantikan adalah kehadiran dirimu. Keberadaanmu di sampingku sepanjang waktu yang selalu kuinginkan.
“Tunggulah aku, belahan jiwaku. Nantikan kedatanganku.”

Kata-kata itu kembali termaktub dalam suratmu kala aku bertanya sekali lagi menanyakan kehadiran dirimu. Ah, kekasihku sejujurnya aku lelah dengan keadaan ini. Lelah menjawab pertanyaan keluarga, kolega dan sahabat yang selalu melontarkan sindiran kapan aku akan melepas masa lajangku. Usiaku makin beranjak tua, satu persatu teman dan juga kerabat telah mendahului, mengikat tali cinta mereka dalam sebuah ikatan pernikahan yang sejatinya juga aku dan kamu impikan selama ini.

Setiap kali undangan perkawinan datang ke rumah. Ibu selalu menanyakan kapan giliranku. Lelah aku menjawabnya. Letih untuk berkelit dari pertanyaan itu. Sampai aku bisa bertahan, aku sendiri tidak tahu. Aku selalu teringat kata-katamu yang masih terngiang di telingaku, kata-kata yang selalu membuai jiwaku. Tapi kekasihku, aku tak tahu sampai kapan aku bisa bertahan dengan semua itu.
“Ingatlah janji setia antara kita berdua.”

Ah, itu lagi jawabanmu untuk berkelit dari persoalan yang aku hadapi seorang diri. Ah, kekasihku, aku selalu ingat janji setia kita untuk selalu bersama, sehidup semati. Peduli setan dengan ucapan mengejek dari orang-orang di sekeliling kita. Bukankah cinta akan selalu membuat jiwa kita hidup? Bukankah cinta akan membuat kita memiliki makna dalam menjalani hidup? Ah tahu apa orang-orang itu tentang cinta yang terjalin antara kita berdua. Hanya Tuhan, aku dan kamu saja yang tahu.

Kekasihku, ingat dengan janji setia tak berarti akan menyelesaikan masalah seperti semudah membalikkan telapak tangan. Kekasihku, kadangkala aku sudah tidak kuat lagi menahan semua ini. Rinduku kepadamu, hausnya diriku akan kasih sayangmu, juga impianku untuk terikat tali perkawinan dengan dirimu dan semua masalah yang menimpa diriku seolah makin menambah beban pikiran.

Aku merindukanmu tetapi kenapa malah surat-surat cinta, sederet surat elektronik dan segelintir pesan singkat di telepon selulerku saja yang selalu datang menghampiri. Aku menantikanmu tetapi kenapa hadiah-hadiah mahalmu yang selalu mendatangi diriku. Aku butuh kepastianmu. Aku butuh kehadiranmu. Aku menginginkan kehadiranmu di sisiku untuk menemani keseharianku.
“Tunggulah aku, belahan jiwaku. Nantikan kedatanganku.”

Kata itu lagi yang datang menghampiri diriku. Kata-kata yang selalu kamu lontarkan saat berkelit menghindari semua ini.
Kekasihku, kamu selalu mengingatkanku tentang janji-janji aku dan kamu, impian-impian aku dan kamu, kenangan antara aku dan kamu. Selalu saja mengingatkanku, setiap waktu dalam surat-surat cinta, sederet surat elektronik dan segelintir pesan singkat di telepon selulerku. Tetapi bolehkah kali ini aku meminta sesuatu? Tidak sulit kekasihku, hanya aku ingin bertanya sudahkah kamu mengingat semua itu? Mengingat semua janji-janji yang kamu ikrarkan, mengingat impian-impian yang kamu buaikan, juga mengingat kenangan antara aku dan kamu. Sudahkah kamu mengingatnya kekasihku?

Jakarta, 14 Agustus-30 September 2003

Dodiek Adyttya Dwiwanto. Lulusan Ilmu Komunikasi FISIPOL Universitas Gadjah Mada. Tulisan-tulisannya seperti cerita pendek, resensi buku, dan artikel sepakbola dimuat di berbagai media cetak nasional. Saat ini, bekerja sebagai humas di sebuah perusahaan, selain juga menjadi kolumnis sepakbola di sebuah media cetak nasional.

1 komentar:

Komentar Anda