Jumat, 05 Desember 2008

Soto Betawi Rasa Tegal



Melintas di Jalan KS Tubun, Petamburan, Jakarta Pusat, di atas pukul 21.00 dengan perut keroncongan, Warta Kota memutuskan berhenti di warung Soto Betawi Haji Umar Idris. Warung ini terletak tak jauh dari Hotel Santika. Dari arah Tanahabang, warung ini ada di sisi kiri atau berseberangan dengan Hotel Santika (sekitar 100 m dari hotel itu).

Rintik hujan yang turun sejak siang menciptakan hawa dingin yang pas ketika tenggorokan diguyur semangkuk soto betawi dengan asap mengepul. Kebetulan ada beberapa pelanggan yang juga mengisi perut di kedai ini. Ketika Warta Kota masuk dan memilih kursi, pelayan memberi tahu bahwa pengunjung bisa langsung memilih pesanan di meja yang disediakan.

Ini barangkali uniknya. Di tempat lain pelanggan tinggal pesan isi soto betawi, misalnya campur atau daging saja, dan tinggal menunggu pesanan tiba di meja. Beda dengan warung ini. Pengunjung harus langsung memilih sendiri isi soto. Misalnya soto betawi isi daging (sapi) saja, maka pilihlah potongan daging sapi yang ada. Atau jika ingin campur jeroan, daging, dan babat, ya pilih sendiri. Seberapa banyak, terserah yang akan menyantap.

Hitungan porsi di warung ini ditentukan sendiri oleh pelanggan, yaitu berapa potong daging atau jeroan yang ingin dimakan. Sepotong kecil daging, jeroan, atau babat, dipatok seharga Rp 2.000.

Setelah meletakkan daging atau jeroan terpilih pada mangkuk, pelayan akan mengiris daging atau jeroan tadi menjadi potongan kecil-kecil. Taburan bumbu beterbangan di atas mangkuk untuk kemudian mangkuk itu diguyur kuah plus perasan jeruk limau, emping, daun seledri.

Jangan heran, memang ini sejatinya adalah soto ala Umar atau di masa lampau lebih beken dengan nama Soto Umar. Entah bagaimana, seiring perjalanan waktu soto ini menyandang nama soto betawi. Ini bukanlah soto betawi seperti yang biasa kita temui. Kuahnya encer, berwarna pucat, di dalamnya tak terdapat irisan tomat, kentang, ataupun bawang daun.

Enggak enek

Tak berhenti di situ, sambal yang jadi teman soto juga berbeda. Jika pada soto betawi biasanya sambal dibikin encer dengan warna merah pucat dan rasa pedas yang langsung nendang saraf perasa, maka di warung ini sambal lebih kental, warna lebih gelap dengan rasa yang terbilang manis. Bisa dibilang, rasa pedasnya terlalu ‘sopan’.

Bagi penggemar warna gelap dan manis, tambahkan kecap ke dalam soto sebelum menyantap. Pada suapan pertama, langsung terasa beda soto ini dengan soto betawi lainnya. Terasa gurih meski encer. Terkadang terasa seperti paduan sop dan soto dengan kuah yang kekentalannya juga tak ‘menakutkan’. Yang pasti, menu ini sungguh pas di cuaca apa pun. Seorang rekan bahkan menyeruput kuah soto ini hingga tandas. ”Enggak enek, encer lagi,” katanya.

Menurut Santo, Juriman, dan Wahyu, yang melayani pelanggan di malam hari, warung ini buka setiap hari mulai pukul 08.00 pagi hingga pukul 04.00 dini hari. ”Tiap hari paling rame jam makan siang, sekitar pukul 11.00 sampai pukul 13.00. Tapi sampai malem bahkan pagi, ada aja yang makan di sini,” kata Wahyu yang diamini kedua rekannya, semua dengan logat Tegal yang kental.

Lantas kenapa kuah sotonya begitu gurih dan berbeda dari soto betawi yang lain? ”Ya, memang beda. Kita kan pake susu. Ini resepnya turunan dari Haji Umar Idris almarhum. Kita juga enggak pake tomat, kentang, dan daun bawang. Kita cuma pake daun seledri dan emping,” ujar Wahyu.

Sayang putra almarhum Haji Umar Idris yang melanjutkan bisnis ini, Budi Hanurawanto Umar, sedang pulang ke kampungnya di Tegal, Jawa Tengah, saat Warta Kota mampir ke kedainya.

Tidak Pakai Sistem Paket

Dihubungi dari Jakarta, Budi Hanurawanto Umar yang tengah berada di Tegal menjelaskan, ayahnya, Haji Umar Idris (alm) memulai bisnis ini tahun 1969 di Sabang, Jakarta Pusat. ”Dulu masih pake tenda. Awalnya Bapak cuma jual ketan, goreng-gorengan. Tapi melihat peminatnya kok banyak, trus Bapak mulai jual soto. Tapi ini dulu memang bukan soto betawi. Ini disebut Soto Umar karena memang beda dengan soto betawi. Beda rasanya karena ini memang resep sendiri,” papar ayah dua putra ini.

Sekitar tahun 1975, posisi warung tenda bergeser sedikit tapi masih di Sabang. Baru pada 1999 warung ini pindah ke kedai di Jalan KS Tubun. ”Sekarang memang enggak pake tenda lagi tapi itu juga masih kontrak,” kata Budi.

Entah bagaimana, kemudian nama Soto Umar berubah menjadi Soto Betawi Haji Umar Idris. ”Mungkin pengaruh tempat dan zaman, enggak tau juga. Tapi soto ini memang beda rasanya dengan soto betawi. Kuah soto kita memang encer karena campuran santan dan susu,” tutur Budi.

Sejak awal sistem pemesanannya juga beda, pelanggan memilih sendiri apa yang akan dimakan. ”Istilahnya saya enggak pake sistem paket seperti yang lain. Kita hitung per potong. Tapi kalau mau seperti itu, paket campur atau daging, kita yang pilihin juga bisa,” kata Budi lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar Anda