Rabu, 26 November 2008

"Hare Gene...Rumah sakit Masih Anti Jilbab?

Munculnya kembali kasus larangan berjilbab bagi karyawati seperti di RS Mitra Internasional, Jatinegara, Jakarta Timur, sangat memprihatinkan. Di dunia yang sudah sangat terbuka dan toleran seperti sekarang, kasus seperti ini menunjukkan betapa kerdilnya sikap mental pengelola rumah sakit itu. "Hare gene...masih anti jilbab?" kata Anisa Yulianita, mahasiswi PTN di Jakarta, mengomentari kasus ini dalam bahasa remaja.

"Dah nggak zaman tuh larangan jilbab kayak gitu. Jadul banget ya menajemen rumah sakitnya kalo gitu. Itu diskriminatif terhadap perempuan muslim dan melanggar HAM. Ini kan zaman globalisasi. Semuanya sudah terbuka dan bergaul dengan toleran. Kita aja kuliah kumpul bareng mahasiswa bule-bule, semua open tuh dan saling menghormati," tutur Anisa, Rabu di Depok.

Sebagai wanita muslim yang berjilbab, Anisa merasa dirinya tak bisa menerima perlakuan anti jilbab di tempat kerja. "Saya kira pemerintah juga nggak melarang. Saya setuju peristiwa ini diselesaikan sampai tuntas agar tidak terus terjadi kasusnya," ujarnya.

Ungkapan Anisa adalah ungkapan semua pihak, termasuk Majelis Ulama Indonesia (MUI). Ketua MUI Ma’ruf Amin mengatakan larangan berjilbab bagi pegawai adalah realitas usang yang tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Menurut Ma’ruf, melarang atau menunda orang memakai jilbab sama halnya dengan menghambat orang menjalankan ajaran agamanya.

Ma’ruf menambahkan, dalam konteks universal larangan berjilbab tidak sesuai dengan iklim keterbukaan, demokrasi, dan HAM. “Apalagi Indonesia ini kan beragam manusianya, kita harus lebih toleranlah,” kata Ma’ruf.

Ma’ruf menegaskan MUI akan meminta kebijakan pelarangan, baik eksplisit maupun implisit ini dihapus. Larangan berjilbab, bagi Ma’ruf sangat diskriminatif. Jika pelarangan jilbab masih berlanjut, MUI akan terus mempersoalkannya.

Ia juga mengingatkan pelarangan pakaian jilbab adalah tindakan yang menyakiti umat muslim, umat terbesar di Indonesia. Sebagai tindak lanjut, MUI akan melakukan pembahasan dengan pemerintah. “Langkah kami lebih jauh dari sekadar lobi,” ia menjanjikan.

Kasus larangan berjilbab bagi karyawati RSMI Jatinegara menyusul kasus serupa sebelumnya di RS Mitra Keluarga Bekasi. Namun pihak RSMI mengatakan tak pernah ada larangan berjilbab melainkan hanya 'pengaturan seragam'. Ketika bertemu serikat pekerja, Senin, manajemen RSMI mengatakan karyawatinya boleh berjilbab mulai Juli 2009.

Adanya penundaan izin pemakaian jilbab bagi karyawati itu, menurut Sri Widianti, Ketua Forum Masyarakat Peduli Perempuan, sangat tidak beralasan. Sri menilai penundaan tersebut masih tergolong pada tindakan diskriminatif. “Ya pada dasarnya penundaan itu alasannya tidak kuat,” kata Sri.

Sri dan rekan-rekan dari berbagai lembaga sedang mengupayakan tindak lanjut mengenai kasus ini. Mereka berencana menemui pihak disnaker Jakarta untuk membicarakan lebih lanjut solusi kasus pelarangan jilbab.

Sri menyebut salah satu isi Undang-undang Disnaker yang melindungi setiap pekerja dalam menjalankan ajaran agamanya masing-masing. Menurutnya, aturan larangan berjilbab bersumber dari aturan instansi saja. Sri menekankan seharusnya aturan RS dan perusahaan di bawah disnaker mengacu pada aturan disnaker. Ia mengimbau pihak disnaker untuk menelaah kembali aturan PKB yang mereka sahkan.

Hal senada juga disampaikan Kasudin Yankes Jaktim, Ariani, selaku pihak yang membawahi rumah-rumah sakit di Jakarta Timur. Pihaknya akan melakukan verifikasi aturan internal RSMI. Berdasar standar layanan kesehatan, Ariani juga mengatakan tidak terdapat kaitan antara jilbab dan risiko infeksi pada pasien rumah sakit.

Sementara itu, Walikota Jakarta Timur, Murdhani, berang ketika mendapat informasi mengenai pelarangan jilbab di RSMI. “Memang dia hidup di negara siapa? Alangkah naifnya di Indonesia ini jika ada instansi yang melarang jilbab,” kata Murdhani.

Walikota berjanji akan memerintahkan jajarannya, yakni dalam hal ini kasudin nakertrans dan asisten ekbangsos untuk menyelesaikan kasus ini. Murdhani juga mengimbau pihak-pihak yang terlanggar haknya untuk melapor pada sudin nakertrans.Ia mengaku pihak pemkot akan kesulitan bertindak tanpa adanya laporan dari pihak yang terlibat.

Murdhani mengimbuhkan larangan pemakaian jilbab merupakan bagian dari pelanggaran HAM. Ia juga menekankan proses penyelesaian yang sistemik dan holistik agar kasus serupa tidak terulang. Bagi Murdhani, tidak ada alasan bagi instansi untuk menunda izin pemakaian jilbab, terlebih hanya untuk kepentingan merapikan seragam.

Saat ini para karyawati berjilbab yang terkena sanksi surat teguran dan peringatan dapat tenang sejenak. Pasalnya, status sanksi belum meningkat. Saat ini seluruh jajaran manajemen RSMI sedang melaksanakan proses akreditasi rumah sakit. “Saat ini kami sedang fokus akreditasi. Tidak terlalu panik dengan masalah tuntutan jilbab,” kata Warno Hidayat, manajer SDM RSMI Jatinegara, Rabu (25/11). Proses akreditasi menurut rencana akan selesai Kamis (27/11).

Larangan jilbab ditengarai tidak hanya terjadi di RSMI Jatinegara atau RSMK Bekasi. Karyawati di sejumlah perusahaan atau lembaga diperkirakan masih banyak yang mengalami diskriminasi karena mengenakan jilbab. Seorang karyawan perusahaan farmasi besar di Jakarta mengaku mundur dari perusahaannya karena perusahaan farmasi tersebut melakukan diskriminasi terhadap karyawati perempuan berjilbab.


Sumber. Republika(26/11/2008)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar Anda