Kamis, 27 November 2008

Lingkar Bertepi

“Jadi sampai di sini perkawinan kita?”Arindra berkata dengan nada datar sambil beranjak dari tempat duduknya. Ia menatap mataku tanpa ekspresi yang cukup berarti. Kupandang bola matanya dengan sorotan yang tajam. Kami terdiam. Belum sempat kujawab, ia langsung menyambung pembicaraan.
“Okay, itu memang yang kutunggu.” Istriku, Arindra Maharani menggugat cerai dengan seribu satu alasannya.

* * *

Malam itu, di tengah hujan lebat dan dinginnya udara Bojong Rangkong, ia datang ke kosku hanya untuk memohon agar aku segera menikahinya karena ia akan segera dinikahkan dengan anak tengkulak beras di Cianjur. Selain itu orangtuanya malu karena sudah dianggap punya anak yang berstatus perawan tua menurut ukuran kampungnya karena sudah berumur 27 tahun belum nikah.

Arindra memang perempuan pilihanku, cantik, pintar, supel dan bagiku dia bukan perempuan yang berambisi untuk berkarier di luar rumah meskipun kini telah menyandang gelar sarjana dari universitas terkemuka. Dia lebih memilih mengajar di bimbingan belajar dan les privat dari rumah-ke rumah anak-anak orang kaya di sekitar Depok. Kalau dibandingkan dengan prestasi kuliahnya, tentu saja amat disayangkan kalau pada akhirnya ia hanya memilih sebagai guru bimbingan belajar dan les privat. Masuk universitas negeri melalui jalur PMDK, semasa kuliah pernah menjadi mahasiswa berprestasi, dan satu lagi yang kusuka darinya, tidak pernah menunjukkan kelebihan yang ia punya.

Mendengar dia akan dinikahkan dengan Sukanda, anak tengkulak beras yang konon katanya pemabuk dan penyandang gelar lelaki perlente yang matanya jelalatan kalau melihat perempuan, aku langsung terperanjat dan tak akan rela Arindraku tersayang mendapatkan lelaki seperti itu.

Arindra sembah sujud dengan orangtuanya minta dinikahkan dengan aku dan mengaku sudah hamil dua bulan. Akupun tak pernah menyangka kalau ia bisa membuat alasan seperti itu. Dengan proses yang agak panjang, akhirnya aku jadi juga menikah dengan Arindra. Tak ada janur kuning, apalagi atraksi jaipongan seperti yang sering ditampilkan oleh orang-orang di kampungku.

Semua ini karena pada dasarnya kami tak direstui oleh orangtua. Tak ada angin tak ada hujan, tiba-tiba ada pernikahan mendadak di kampungku. Berita perempuan pengantin yang telah hamil pun menyebar ke semua kampung. Di kampungku, perempuan yang menikah karena hamil terlebih dahulu atau istilah anak zaman sekarang married by accident alias em bi ei adalah hal yang lumrah. Banyak pasangan muda menikah tanpa tujuan yang jelas dan akhirnya bercerai saat usia perkawinan masih seumur jagung. Tidak heran banyak perempuan yang berusia dua puluh lima sudah menyandang gelar janda dua kali.

* * *

Bulan pertama pernikahan, tentu saja dilalui dengan indah. Mungkin inilah yang disebut sebagai syurga dunia. Setiap pagi, Arindra menyediakan nasi goreng khas buatannya. Rasanya asin dan tak karuan, entah bumbu apa yang ia gunakan.

“Bagaimana rasa nasi gorengku Aa?”Arindra bertanya dengan suara yang sedikit terdengar serak-serak basah tetapi terdengar renyah.

“Ehmmmm euuunak, enak. Enak banget. Cuma keasinan. Kok asin sih? katanya kalau masak asin-asin mau kawin. Kan udah kawin. He…he…he….,” aku tertawa sambil menahan rasa nasi goreng yang semakin tak karuan di mulutku.

Arindra terdiam, sepertinya ia tahu aku tidak mengatakan yang sebenarnya. Ia memang bukan tipe perempuan yang banyak bicara, dia sensitif, tapi bagiku ia cukup menyenangkan karena bisa menjadi air penyejuk di tengah panasnya padang ilalang. Suaranya yang serak-serak basah dan terdengar berat itu justru bagiku menghasilkan irama seksi, terutama jika dia sedang bersenandung.

Bulan kedua, manisnya surga dunia masih dapat kami rasakan tanpa gejolak. Riak-riak kecil atau gelombang yang menyentil bahtera rumah tangga bisa kami atasi. Di sinilah baru kurasakan adanya saat-saat romantik dimana angin mendesir lirih menyapa layar yang kami bentang. Rutinitas di pagi hari masih ia lakukan. Menyiapkan nasi goreng asinnya lengkap dengan teh manis hangat-hangat kuku kesukaanku. Akupun masih tak berkomentar kalau aku bosan makan nasi gorengnya yang asin itu.

Ia memang perempuan idealku, menuntut penghasilanku yang hanya mampu membayar kontrakan tiga petak sebesar tiga ratus ribu per bulan pun tak pernah. Maklum, aku baru saja menjadi peneliti yunior LSM di Kawasan Selatan Jakarta. Hidup matinya LSM itu tergantung dari penyandang dana yang kadang tak pernah.

Divisi penelitian di LSM itu boleh dibilang bukan lahan basah. Dalam waktu dua bulan aku bekerja di situ, sudah sepuluh proposal belum mendapat kepastian. Kalaupun proposal diterima, dana yang mengucur biasanya setelah setengah pekerjaan dilaksanakan. Walhasil, sejak aku menikah total penghasilanku hanya bisa membayar kontrakan rumah saja, sisanya untuk keperluanku selama satu bulan. Beli bensin motor, dan makan siang di luar. Kalau uangku sudah habis aku kasbon dulu di warungnya Mpok Juroh. Arindra pernah menawarkan agar setiap hari aku membawa makanan saja dari rumah untuk menghemat, tetapi aku selalu menolak dengan alasan tak ingin merepotkannya pagi-pagi harus memasak, padahal aku tidak menyukai masakannya yang selalu asin dan bumbunya terasa aneh di lidah ku.

Seperti pagi-pagi sebelumnya yang sudah kami lalui. Melakukan rutinitas yang sebenarnya menjemukkan. Arindra menyiapkan sarapan, lalu kami makan bersama, setelah itu aku memanaskan mesin motor dan ia menyiapkan bahan untuk mengaja. Kulihat pagi itu ia tidak langsung menyiapkan bahan untuk mengajar. Ia menghitung uang hasil mengajar di bimbingan belajar. Secarik kertas ia ambil, lalu seperti akuntan professional langsung menghitung anggaran untuk bulan depan. Begitu cekatannya ia menghitung.

“Yah, minus! Padahal aku mau menabung karena kita enggak punya tabungan samasekali untuk membayar cicilan motor. Suaranya terdengar lirih lalu ia memasukkan uang seratusan ribu sebanyak enam lembar ke dalam amplop putih yang bertulis Arindra Maharani S.Si, Honorarium Staf Pengajar Rp.600.000. Arindra memang sangat cermat menggunakan uang. Seratus rupiahpun yang ia keluarkan dicatat dalam pembukuan.

“Masih untung punya kerjaan dan uang. Uang sebesar itu bisa saja dicukup-cukupi, yang penting kan kita bisa menikmati dan memanfaatkannya dengan tepat dan benar,” aku berusaha menghibur Arindra yang tampak kecewa dengan hasil perhitungan anggaran yang ternyata minus. Aku seolah tampak tenang, padahal sangat malu karena tidak bisa mencukupi kebutuhan hidup rumahtangga dan belum pernah membelikan apapun untuknya sejak menikah.

Aku tak tahu kalau ternyata diam-diam Arindra melamar pekerjaan lain. Sebulan kemudian ia diterima di perusahaan asing milik Kanada menjadi management trainee, itupun baru kutahu dari rutinitasnya yang tidak seperti biasanya. Pagi-pagi tepat pukul enam pagi ia sudah berangkat, paling cepat pulang jam sembilan malam. Saat itu kami sedang sama-sama sibuk, proposal penelitian yang kuajukan berhasil diterima. Setiap haripun aku pulang malam bahkan kadang-kadang tak pulang untuk menyelesaikan pekerjaan. Satu bulan berlalu begitu singkat, aku yang diberi kepercayaan sebagai project officer penelitian di LSM tempat kubekerja dibebani pekerjaan tiga kali lipat oleh pimpinan proyek. Dua orang anak buahku memanipulasi data, sementara data primer penelitian akan diolah.

“Teng-Teng, teng-teng…, neng nenggggg. Bunyi ring tone lagu Romantic Blood dari Handphone-ku berbunyi saat aku mengetik laporan sementara penelitian di kantor.

“Ige, aku enggak pulang ke rumah, mau menginap di rumah temanku, Susi. Kita lagi nyiapin bahan presentasi besok, kamu ada dimana?” Arindra meneleponku.

“Aku juga di kantor, sedang ngetik laporan sementara penelitian. Mungkin enggak pulang juga. Jadi, kamu kapan pulang?” dengan nada pelan aku terima telepon darinya, karena aku tak ingin orang-orang di kantorku mengetahui kalau istriku tidak pulang karena urusan kerja.

“Besok malam aku baru pulang karena harus menyiapkan presentasi di tempat lain. Ada mobil dari kantor yang akan mengantarku pulang. Kira-kira jam sebelas malam aku pulang. Sudah ya, temanku sudah menunggu, aku mau ke Jalan Thamrin dulu,” Arindra menutup pembicaraan, nada bicaranya terburu-buru.

Besok malamnya ia pulang lebih malam dari yang ia katakan sebelumnya. Jam dinding menunjukkan pukul satu malam lewat lima belas menit, bunyi detiknya sangat terdengar seakan berlomba dengan denyut nadi. Udara dingin Bojong Rangkong menambah dinginnya hatiku dengan Arindra. Kulihat matanya sayup dan bajunya beraroma tak karuan. Bau rokok, parfume dan entah ada gabungan bau apalagi yang nyaris tak bisa aku identifikasi. Arindra langsung duduk terkulai di bangku rotan di ruang tamu, ia tampak kelelahan. Tanpa banyak tanya aku menyuruhnya untuk segera tidur.

Jam dinding di kamar menunjukkan pukul delapan pagi. Arindra masih tidur. Hari inipun aku tak ingin masuk kerja untuk sekedar mencari tahu apa yang sudah ia lakukan kemarin. Ia bangun pukul sembilan. Tak seperti biasanya jam lima pagi sudah mandi dan bergegas berangkat. Hari itu kulihat dia seperti vampire yang kekurangan darah. Matanya sayup dan suaranya terdengar tak berbentuk.

“Kok enggak kerja?” Tanya Arindra dengan suaranya yang terdengar parau. Ia berjalan sempoyongan bahkan hampir terjatuh saat menuju kamar mandi.

“Enggak, hari ini aku meliburkan diri. Pusing ngurusin kerja terus, mau having fun dulu,” jawabku dengan tawa kecil.

Arindra seperti tak bisa menangkap air mukaku yang sebenarnya. Tak ada ekspresi yang cukup berarti saat menanggapi jawabanku. Ia langsung ke kamar mandi. Setelah mandi dan berdandan, ia mengeluarkan sekotak Dunkin’ Donuts yang ia bawa semalam. Dunkin’ Donuts dan susu berkalsium tinggi, kini jadi menu favorit untuk sarapannya.

Ia sudah tak pernah menyentuh kompor gas Rinnainya yang baru ia beli. Sudah sebulan menu pagiku bukan nasi goreng asinnya lagi karena jam enam biasanya ia sudah berangkat. Kalau sudah mengantarnya ke Stasiun Bojong Gede, aku langsung membeli aneka makanan di sekitarnya. Makan nasi uduk di warung Mang Madi, lalu konkow-konkow dulu sambil merokok dengan tukang ojek atau supir angkot jadi semacam rutinitas yang menyenangkan. Begitulah pagi-pagi berikutnya kulalui.

* * *

Kulihat Arindra jadi semakin cantik dengan kosmetik barunya. Lipstick lima ribuannya kini sudah diganti dengan yang bermerek seharga dua ratus ribu dan bedak padatnya itu yang entah apa mereknya dulu, kini sudah diganti dengan yang mengandung tabir surya seharga seratus lima puluh ribu. Lulur mandi, shampoo, pemutih badan, handbody lotion, minyak cem-ceman dan entah apalagi kosmetiknya itu, semua sudah diganti dengan yang bermerek.

“Kalau mau having fun hari ini, aku juga mau having fun, Bagaimana kalau hari ini kita jalan-jalan ke Blok M? aku mau ke salon dan makan-makan,” Arindra mengajakku dengan antusias.

Seharian aku menemaninya berjalan-jalan. Di salon aku seperti dayang-dayang yang sedang menunggu tuan putri yang sedang bersolek. Hampir dua jam aku menunggunya hanya untuk pedicure, medicure, dan creambath. Setelah itu dengan setengah terpaksa aku harus tetap menemaninya ke Melawai untuk memilih pakaian.

Kami makan di restoran Jepang dengan nuansa Jepang yang kental di dalamnya. Ada karaoke dan aneka permainan yang ditawarkan di restauran itu. Arindra pun mengajakku bernyanyi, aku menolak karena aku sedang mati rasa. Ia melantunkan lagu-lagu melankolis. Suaranya yang biasa terdengar seksi jika bernyanyi, kini terdengar bagai lantunan tanpa bentuk. Begitu lihainya ia bernyanyi dengan karaoke, baru kutahu kalau ia bisa jadi seperti itu.

***

Perjalanan ke Kanada. 29 Maret 2006 dengan rute Cengkareng-Hongkong 15.05-21.00 dilanjutkan dengan Air Canada 30 Maret 2006 lalu dilanjutkan dari Hongkong-Vancouver 14.55-10.33 dilanjutkan lagi dengan Air Canada Vancouver-Edmonten 12.35.15.00.

Perjalanan yang begitu jauh menuju Kanada, kuhempas nafas dalam sambil kubaca elektronik tiket pesawat yang ia tunjukkan padaku. Seminggu lagi ia akan ke Kanada untuk tugas kerja dan dijadwalkan seminggu kemudian lagi akan ke Shanghai. Begitulah seterusnya, Arindra selalu mempunyai jadwal keluar negeri, paling tidak satu bulan sekali. Sebuah prestasi yang membuat semua teman mengajarnya dulu berdecak kagum dan semua orang di kampungnya bangga dengan menceritakannya tiada henti.

Gemerlapnya Shanghai, indahnya kota tua Nanjing dan romantiknya kota Yangzhou, menjadi tempat yang sering ia sebut sebagai kota yang mengagumkan. Aku hanya mendengar cerita yang sepenggal-penggal tentang kesenangan selama ia berada di sana dan melihat foto-fotonya dengan aneka gaya yang selalu menebar senyum bak foto model.

Kulihat foto bersama teman-temannya dan atasannya. Ia tampak bahagia bersama koleganya. Entah dengan siapa saja ia pergi, berinteraksi dan menghabiskan hari-hari di negeri orang sana. Hanya ada sedikit waktu untuk hanya sekedar mendengar ceritanya.

Sekarang Arindra berada nun jauh sana, Kanada. Kemungkinan akan cukup lama karena ada pertemuan akbar di kantor pusat perusahaannya. Dengan prestasinya yang gemilang, Arindra terpilih menjadi wakil dari Indonesia untuk menjelaskan sepak terjangnya di dunia marketing.

Seribu pertanyaan berbaris berderet untuknya, tapi kerongkonganku tertohok tak mampu untuk meluapkannya menjadi samudera kata-kata. Kuhempaskan segala pikiran tentang istriku Arindra, sosok perempuan ideal yang dulu kuinginkan dan pernah kudapatkan. Kini tak pernah lagi kunikmati nasi goreng asinnya dan rok selutut bermotif bunga-bunga coklat kesukaannya yang selalu ia kenakan saat pergi mengajar.

“Ahhhhhh………,” kuhela nafas panjang, melepas letih yang sangat, karena bayang-bayang Arindra yang kini entah sudah menjadi apa, menghantui hari-hariku yang kian absurd.

* * *

Kunikmati keindahan Candi Prambanan yang dilatar belakangi Gunung Merapi yang selalu mengepulkan asapnya. Aku melihatnya dari pelataran Candi Ratu Boko yang terletak di dataran tinggi. Sore itu, keramaian arus lalu lintas Yogya-Solo masih terlihat seperti kutu-kutu kecil yang berjalan lambat dilihat dari atas keputren kawasan Candi Boko.

Langit mulai menggelap. Dari arah barat, matahari mulai meninggalkan setengah lingkaran langit sementara dari arah timur lamat-lamat mulai tampak bundaran bulan yang pucat warnanya. Irama mistis gending Jawa terdengar mengalun-ngalun di sekitar pelataran candi yang datang dari rumah penduduk sekitar. Kuselonjorkan kaki karena lelah berjalan-jalan di sekitar candi.

Langit sudah benar-benar gelap. Raja siang itu juga sudah tenggelam. Bulan sudah membulat sempurna dan warnanya pelan-pelan menjadi lebih terang. Bulu kudukku merinding ketika sentuhan lembut dari tangan seorang perempuan menjadi pelukan yang hangat menjalar ke pori-poriku. Saraswati, seorang gadis yang menjadi partner-ku selama penelitian seolah memberikan kehangatan yang tak pernah kurasakan dari Arindra. Ia tak secantik dan secerdas Arindra. Entahlah pesona apa yang ia tawarkan padaku. Apakah ini hanya sebuah bentuk pendobrakan gorong-gorong kesunyianku? Aku berdialog sendiri sambil menikmati hangatnya pelukan Saraswati.

“Intrumen Heaven and Earth Kitaro terdengar sebagai nada panggil….,” Aku tersentak dalam pelukan Saraswati yang kian menghangat dan semakin kunikmati hingga kubiarkan bunyi nada panggil itu 3 kali berulang. Kuterima telepon itu ketika nada panggil berulang untuk ke-4 kalinya. “Aa ada dimana sekarang?” Aku masih di Edmonten, aku mau pulang besok. “Aa sehat-sehat saja kan?” Arindra meneleponku jam sebelas malam waktu Indonesia entah jam berapa disana.

Belum kujawab tak terdengar lagi suaranya. Terjatuhkah handphone-nya, tanyaku dalam hati. Samar-samar terdengar seperti ada suara laki-laki dan suara Arindra terdengar pelan seakan dalam percakapan kecil dan semakin lama seperti orang berbisik yang lamat-lamat suaranya semakin tak terdengar. Handphone itu seperti terjatuh, tak segera diambil tetapi dibiarkan hidup. Pikiranku berkelana liar tentang Arindra. Aku berjuang keras untuk membuang segala rasa dengannya. Sepuluh menit kemudian kuterima SMS darinya “Igemintangku yang tercinta, maaf ternyata aku enggak jadi pulang besok. Mungkin dua hari lagi. Selamat tidur sayang. Semoga hari-hari kita selalu indah meski jarak memisahkan,” aku tak bergeming membacanya dan langsung kumatikan handphone- ku tak ingin rasanya mendengar apapun tentang Arindra.

Pagi berkabut, menutupi pemandangan sekitar Candi Boko. Dari kegelapan malam yang hening berubah menjadi lukisan alam yang indah. Ada garis-garis langit di ufuk timur. Sinar mentari pelan-pelan menembus kabut. Aku dan Saraswati berjalan menuju keputren atas. Ada keindahan alam yang sudah lama tak pernah kusaksikan.
Matahari terbit diiringi kokok ayam dan suara domba milik penduduk setempat. Ada kicau burung bersahutan yang suaranya dikirim oleh desir angin. Semua tampak harmoni, namun sayang aku nyaris tak bisa menikmatinya. Kuhidupkan handphone, dan terdengar bunyi SMS yang sama dari Arindra tiga kali ia kirim. Kubaca pesannya dengan mengalihkan pandangan Saraswati, “Igemintangku sayang, Selamat pagi! Bagaimana malam-malam yang telah kau lalui tanpa diriku? Semoga cinta kita selalu bersemi. Kamu masih ingat kan dengan Novelnya Prof.Dr. Hamka Tenggelamnya Kapal Van Derwijck yang menyatakan bahwa cinta laksana hujan yang turun dari langit. Jika mengguyur tanah tandus, maka ia akan menumbuhkan pohon sirih putih kekuning-kuningan dan menjalar di atas batu: menebarkan bau busuk dan mengusik tata nilai kehidupan. Tapi jika air hujan itu menyiram tanah yang subur, ia akan melahirkan rumpun bunga yang menyebarkan aroma wangi dan kesegaran. Aku berharap kita bisa menciptakan kemungkinan yang terakhir itu, dimana cinta menjelma keharuman bunga dan harumnya tak pernah berkurang meski bunga itu telah layu. Ige, tentu saja aku tak akan lupa dengan makna cinta yang terkandung dalam novel itu, bukankah kita membacanya bersama-sama ketika malam pertama dulu? Okay sayang! sampai disini dulu, semoga jarak yang memisahkan kita selalu menebarkan aroma wangi cinta,” aku terdiam setelah membaca SMS dari Arindra, lalu berjalan dengan langkah gontai dalam pelukan Saraswati menuju areal parkir atas Candi Ratu Boko.


Depok dalam sublimasi 2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar Anda