Minggu, 16 November 2008

Jagoan dari Menteng Pulo, Asinan Betawi Jembatan Merah

Begitu mendengar nama Menteng Pulo, kebanyakan orang langsung menyebut kuburan sebagai hal pertama yang diingat. Kuburan taman yang tertata rapi itu adalah kuburan milik Belanda bernama Ereveld Menteng Pulo. Maka jangan heran jika sejak berdirinya taman pemakaman ini Menteng Pulo dikenal sebagai kawasan seram, apalagi semula orang menganggap yang terkubur di pemakaman itu semua orang Belanda. Padahal ada warga pribumi, dan Tionghoa yang juga tertanam di sana.

Padahal selain yang seram-seram itu, kawasan ini juga menyimpan makanan tradisional yang sudah ada setengah abad lamanya.
Tepatnya persis di seberang Jalan Menteng Pulo, ada gang bernama Gang Sadar. Di mulut gang ini setiap hari nangkring pedagang asinan Betawi. Asinan ini kini sudah memasuki generasi ketiga. Berawal dari sang kakek yang asli Betawi, berkeliling menjajakan asinan pikulan hingga ke seputaran Jalan Dr Satrio di masa kini.Setelah lelah memikul dagangan, tongkat estafet diserahkan ke generasi kedua yang sebentar berjualan dengan pikulan untuk kemudian memilih mangkal di kawasan Menteng Pulo. "Saya enggak tau kalau ditanya tahun berapa. Tapi udah lama, dari sejak kakek," ujar Anih, generasi ketiga asinan Betawi ini.Sayangnya, baik Anih maupun Inah, sang adik, sama sekali tak ingat nama ayahnya, penerus kedua, apalagi nama sang kakek. "Udah enggak ada semua. Saya enggak tau namanya siapa," tegas Inah, yang diamini Anih. Asinan Betawi yang satu ini masih dijajakan menggunakan pikulan meski mangkal.

Biasanya, orang membeli asinan ini untuk dibawa pulang karena memang tak ada tempat tersisa bagi mereka yang ingin menyantap asinan segar ini di sini. Karena berada di gang sempit, maka pembeli dan pedagang harus selalu bersenggolan dengan pengendara motor dari dan ke gang ini.

Asinan seharga Rp 7.000 per porsi ini dibungkus dengan daun pisang sehingga menambah aroma. Isinya, taoge dan kol ditambah sawi china, tahu, dan timun yang sudah direndam air cabai dan cuka. Setelah itu, kacang tanah goreng ditebar kemudian diguyur lelehan gula jawa, sambal (jika mau), plus sedikit garam. Setelah itu kuah cuka dan sambal ditambahkan ke adonan itu. Terakhir, kerupuk kampung berwarna merah disebar. Jika mau, bisa ditambah kerupuk mi berwarna kuning. Harganya Rp 2.000 per kerupuk.

Sebelum menyantap asinan ini, aduk semua sampai rata. Maka rasa sebenarnya akan langsung menyentak lidah. Asam, manis, asin, dan berbagai rasa asli dari sayur mayur yang digunakan. Jika ditambah sambal, tentu rasa pedas makin bikin semangat. Karena dagangan ini sudah ada sejak sekitar tahun 50-an, maka tak aneh jika pelanggannya juga banyak dan turun menurun.

Contohnya saat Warta Kota tanpa sengaja bertemu pelanggan yang sudah sejak tahun 1960-an sudah sering menikmati asinan ini. "Sudah sejak tahun 1960-an, saya masih kecil, udah sering makan asinan ini. Dulu saya tinggal di Berlan, sering main ke sini cuma untuk cari asinan ini," ujar Supriati, yang kini tinggal di Pasar Rebo dan tetap kangen pada asinan Betawi ini. Kini, Supriati menjabat sebagai Kepala Sekolah Dasar Palmeriam. Bersama putrinya, dia rela menerjang jalanan Jakarta yang macet dan berdebu demi sebuah nostalgia dari seporsi asinan Betawi.

Asinan Betawi memang tak hanya ada di Jembatan Merah, Jakarta Selatan. Di Jakarta Timur, tepatnya di Jalan Kamboja, Rawamangun, juga ada asinan Betawi yang sudah berumur. Di sini, pembeli bisa makan di tempat karena asinan ini sudah punya tempat bernaung, warung. Soal rasa, semua tergantung selera.
Pernah Tertipu...Anih dan Inah, dua saudara kandung dari total 11 bersaudara putra-putri si jagoan asinan Betawi Jembatan Merah. Entah kekecewaan sebesar apa yang pernah menimpa mereka sampai-sampai kapok menghadapi wartawan. Bahkan ketika beberapa panitia menawarkan mereka untuk ikut pada acara jajanan yang sudah sering digelar, acara pernikahan, atau mengisi di Arena Pekan Raya Jakarta (PRJ)."Capek kalau ikut kayak gitu. Enggak ada tenaganya. Kita kan pagi-pagi udah harus belanja," jawab Anih. Untung Anih akhirnya mau angkat bicara setelah sebelumnya mereka berdua tiba-tiba tutup mulut begitu tahu ada wartawan datang. "Abis dulu kita pernah ditipu. Ada dari majalah katanya mau dikasih bonus sama majalahnya. Sampai sekarang enggak pernah nongol. Sama koran itu juga pernah dateng dua orang,katanya korannya mau dianter, tapi akhirnya kita beli sendiri. Jadi kita udah trauma sama wartawan," kata Inah yang sempat tiba-tiba mengeluh sakit gigi sehingga tak mau bicara. Dua bersaudara ini tentu saja cuma warga lugu yang berusaha melanjutkan warisan orangtua. Mereka yang tak biasa dengan basa-basi orang Jakarta yang kadang kebablasan, akhirnya memilih makin menyembunyikan diri. "Pokoknya saya enggak tahu apa-apa. Kita cuma jualan aja di sini," tandas Anih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar Anda